Geodesi berasal dari bahasa Yunani, Geo (γη) = bumi dan daisia / daiein
(δαιω) = membagi, kata geodaisia atau geodeien berarti membagi bumi. Sebenarnya
istilah “Geometri” sudah cukup untuk menyebutkan ilmu
tentang pengukuran bumi, dimana geometri berasal dari bahasa Yunani, γεωμετρία
= geo = bumi dan metria = pengukuran. Secara harafiah berarti pengukuran
tentang bumi. Namun istilah geometri (lebih tepatnya ilmu spasial atau keruangan) yang merupakan dasar untuk mempelajari ilmu geodesi
telah lazim disebutkan sebagai cabang ilmu matematika.
Menurut Helmert dan Torge (1880), Geodesi adalah Ilmu tentang pengukuran
dan pemetaan permukaan bumi yang juga mencakup permukaan dasar laut. Menurut IAG (International Association
Of Geodesy 1979), Geodesi adalah Disiplin ilmu yang mempelajari tentang
pengukuran dan perepresentasian dari Bumi dan benda-benda langit lainnya,
termasuk medan gaya beratnya masing-masing, dalam ruang tiga dimensi yang
berubah dengan waktu.
Pada laporan Dewan Riset Nasional Amerika Serikat, definisi Geodesi dapat
dibaca sebagai berikut: “a branch of applied mathematics that determines by
observations and measurements the exact position of points and the figures and
areas of large portions of the earth's surface,the shape and size of the earth,
and the variations of terrestrial gravity”.
Dalam bahasa yang berbeda, geodesi adalah cabang dari ilmu matematika
terapan, yang dilakukan dengan cara melakukan pengukuran dan pengamatan untuk
menentukan:
- Posisi yang pasti dari titik-titik di muka bumi
- Ukuran dan luas dari sebagian besar muka bumi
- Bentuk dan ukuran bumi serta variasi gaya berat bumi
Definisi ini mempunyai dua aspek,
yakni:
- Aspek ilmiah (aspek penentuan bentuk), berkaitan dengan aspek geometri dan fisik bumi serta variasi medan gaya berat bumi.
- Aspek terapan (aspek penentuan posisi), berhubungan dengan pengukuran dan pengamatan titik-titik teliti atau luas dari suatu bagian besar bumi. Aspek terapan ini yang kemudian dikenal dengan sebutan survei dan pemetaan atau teknik geodesi.
Adapun tujuan Geodesi pada garis
besarnya ada 2 (dua) yaitu :
a. Ilmu Murni Geodesi (Geodesy
Science)
b. Segi Praktis (Mapping ~ Pemetaan)
Geodesy Science mempelajari bentuk dan besarnya bumi, ukuran
bumi, pergerakan kutub dan sejenisnya. Sedangkan Mapping lebih bergerak pada
bidang praktis atau keteknikan (engineering), misalnya penentuan posisi kapal
di laut, pembangunan pelabuhan, staking out jalan (jalan raya, jalan kereta
api, saluran irigasi dan sebagainya), uitzet bangunan, pengkaplingan dan
sebagainya.Seperti halnya ilmu-ilmu yang lain, maka dalam perjalanannya Geodesi
berinteraksi dengan ilmu lain dan berkembang, artinya tidak hanya pada
pengukuran bentuk dan besar bumi, pemetaan dan sejenisnya, tetapi berkembang ke
keruangan (spasial). Perkembangan teknologi komputer dijital juga telah memperluas ruang lingkup
keilmuan dan keahlian teknik geodesi. Perkembangan tersebut adalah menuju ke Geomatika.
Geomatika adalah sebuah istilah ilmiah modern yang berarti pendekatan
yang terpadu dalam mengukur, menganalisis, dan mengelola deskripsi dan lokasi
data-data kebumian, yang sering disebut sebagai data spasial. Data-data
ini berasal dari berbagai sumber, antara lain : satelit-satelit yang mengorbit
bumi, sensor-sensor laut dan udara, dan peralatan ukur di daratan. Data
tersebut diolah dengan teknologi informasi mutakhir menggunakan perangkat keras
dan perangkat lunak komputer.
Definisi geomatika yang
bersumber dari University
of Calgary menjelaskan: “Geomatics Engineering is a
modern discipline, which integrates acquisition, modeling, analysis, and
management of spatially referenced data, i.e. data identified according to
their locations. Based on the scientific framework of geodesy, it uses terrestrial,
marine, airborne, and satellite-based sensors to acquire spatial and other
data. It includes the process of transforming spatially referenced data from
different sources into common information systems with well-defined accuracy
characteristics”.
Geomatika mempunyai aplikasi dalam
semua disiplin yang berhubungan dengan data spasial, misalnya studi lingkungan,
perencanaan wilayah dan kota, kerekayasaan, navigasi, geologi & geofisika,
dan pengelolaan pertanahan. Oleh karena itu geomatika sangat fundamental
terhadap semua disiplin ilmu kebumian yang menggunakan data spasial, seperti
ilmu ukur tanah, penginderaan jauh (foto udara atau dengan gelombang
elektromagnetik), kartografi, sistem informasi geografik (SIG), dan global
positioning system (GPS).
Sejarah
Perkembangan Geodesi:
Semenjak manusia mula memikirkan
tentang makhluk, mereka telah berminat untuk mempelajari tentang bumi. Beberapa
fenomena alam yang
terjadi di sekeliling mereka menyebabkan
mereka seringkali merasa takut. Hasil daripada ini telah menggalakkan manusia
lebih memahami tentang peristiwa tersebut. Sebagian fenomena yang terjadi adalah sentiasa berkait rapat dengan bentuk, graviti bumi,
perubahan masa dan untuk mengetahuinya memerlukan pengetahuan dalam bidang
geodesi. Secara signifikan,
kegiatan pemetaan bumi sebagai bidang ilmu Geodesi telah dimulai sejak banjir
sungai nil (2000 SM) oleh kerajaan Mesir Kuno. Perkembangan Geodesi yang lebih
signifikan lagi pada saat manusia mempelajari bentuk bumi & ukuran bumi
lebih dalam oleh tokoh Yunani, Erastotenes yang dikenal sebagai bapak geodesi.
Hingga kini teknik geodesi dijadikan
sebagai disiplin ilmu akademis hampir disetiap negara.
Ilmu
Yang Mendukung Geodesi
Ilmu
–ilmu yang mendukung Geodesi, menurut Vanicek (1982) adalah :
1.
Ilmu yang utama meliputi :
• Matematika
• Fisika
• Komputer
2.
Ilmu lainnya adalah :
• Hidrografi
• Geografi
• Ekologi
• Proyek
Keteknikan
• Manajemen kota
• Batas wilayah
• Manajemen
Lingkungan
• Astronomi
• Pengetahuan
Amosfir
• Geologi
• Geofisik
• Oseanografi
• Pengetahuan
Spasial
Gambar. Bidang Geomatika
Sejarah
Geodesi di Indonesia:
Pada
abad 18 pengetahuan tentang pendalaman pulau jawa sangat kurang, terlebih
daerah diluar Jawa. Pada saat pemerintahan Gouverneur General Daendels,
diletakan dasar untuk pengukuran di pulau jawa. Pada tahun 1809 diangkat
juru-juru ukur yang diambil sumpah untuk mengisi personil dalam organisasi
“Biro Zeni” dalam gerakan-gerakan militer. Semua pejabat militer dan sipil
mendapat instruksi untuk mengadakan pengukuran dan pemetaan, terutama kepada
para perwira Zeni diberi tugas pengukuran dan waterpassing dengan menggunakan
peta-peta laut sebagai dasar pembuatan peta.
Setelah
selesai peperangan di Jawa (Perang diponegoro tahun 1825-1830) timbul kebutuhan
yang meningkat akan kebutuhan data geografi dan peta topografi yang lebih
lengkap dari wilayah Hindia Belanda terutama ditujukan untuk pembuatan peta
pertahanan Pulau Jawa. Pada awal abad ke-19 di Eropa terdapat anggapan bahwa
pekerjaan pengukuran triangulasi harus dilakukan terlebih dahulu sebelum
dilakukan pekerjaan pemetaan. Anggapan ini baru dianut di Indonesia pada akhir
abad ke-19, walaupun antara tahun 1839 hingga tahun 1848 Junghuhn telah membuat
triangulasi pertama di Indonesia yang dijadikan dasar untuk pengukuran dan
pemetaan di Pulau Jawa. Dari hasil pengukuran yang dilakukan dapat dihasilkan
tiga peta dengan skala peta yang bervariasi. Peta-peta buatan Junghuhn tersebut
tidak pernah dicetak, sebab disusul oleh pembuatan peta dengan skala 1 : 70 000
oleh Vander Welde tahun 1845, dan peta buatan Leclerq pada tahun 1850 dengan
skala peta 1 : 100 000.
Pemerintah
Hindia Belanda semula merencanakan pengukuran dan pemetaan detail sekitar
daerah Batavia (Jakarta) dan Buiterzorg (Bogor), namun segera diputuskan
pemetaan topografi pertama dimulai di daerah residensi Batavia (tahun
1849-1853) oleh Topografisch Bureau sebagai bagian dari Corps Genie. Hasil
pekerjaan pengukuran dan pemetaan dengan skala peta 1 : 10 000 dan 1: 50 000
(hasil perkecilan skala peta) telah memperjelas manfaat serta kegunaan peta.
Setelah selesai pemetaan di sekitar Batavia, proses pemetaan di Pulau Jawa
diperluas lagi hingga ke Keresidenan Cirebon.
Berdasarkan
laporan yang disampaikan oleh Prof. Ir. J.H.G Schepers pada sidang umum
International Union of Geodesy and Geophysics (IUGG) pada tahun 1931, dapat
dibaca tentang sejarah pemetaan topografi di Indonesia pada masa lalu. Pada
tahun 1850 dibentuklah Dinas Geografi (Geografische Dients) sebagai bagian dari
angkatan laut dengan tugas untuk menetapkan posisi geografi dari berbagai
stasiun di Indonesia dengan pengamatan bintang. Pada tahun 1864
dibentuk Topografisch Bureau en der Militaire Verkeuningen di bawah kesatuan
Zeni dengan tugas pengukuran topografi di Pulau Jawa. Pada tahun 1874 Bureau
ini dialihkan menjadi Topografische Dients (Dinas Topografi) di bawah staf umum
angkatan darat, pada tahun 1907 dipisahkan lagi dari staf umum untuk menjadi
bagian yang berdiri sendiri yang dikenal dengan nama “IXde Afdeeling van let
Department van Oorlog” (Afdeeling ke-9 dari departemen peperangan) atau lazim
disebut dinas topografi militer.
Pada
tahun 1857, Dr. Oudemans (Guru besar Astronomi pada universitas Utrecth) datang
ke Indonesia dan meyakinkan perlunya triangulasi yang teratur untuk pemetaan
topografi yang sekaligus dapat dimanfaatkan untuk keperluan ilmiah didalam
menentukan dimensi bumi. Pada tahun 1862 triangulasi pulau jawa dimulai dibawah
pimpinan Dr. Oudemans sendiri dan selesai pada tahun 1880, sesudah dinas geografi
dibubarkan. Pekerjaan triangulasi ini dikerjakan setelah pemerintah Hindia
Belanda memutuskan untuk memulai pemetaan sistematik di Indonesia yang dimulai
dari pulau Jawa dan Madura, serta dilakukan oleh pemerintah sendiri
(Governments Besluit No 10 tanggal 25 Desember 1853).
Pada
tahun 1883 dibentuk brigade triangulasi sebagai bagian dari dinas topografi
militer untuk meneruskan pekerjaan triangulasi di pulau Sumatera dan
pulau-pulau lainnya. Brigade ini dipimpin oleh Dr. J.J.A Mueller. Sejak tahun
1913 Brigade dipimpin oleh Prof. Ir. J.H.G. Schepers dan diserahi tugas survey
geodesi untuk seluruh Kepulauan Indonesia (triangulasi, pengamatan astronomi,
sipat datar teliti di Jawa ). Menjelang pecahnya perang Dunia II, pimpinan
Brigade Triangulasi adalah Prof. Ir. P.H. Poldevaart, sehingga praktis pimpinan
dan staf Brigade ini (merupakan bagian terpenting pada dinas topografi militer)
adalah sarjana-sarjana yang berstatus pegawai sipil (burgelijk ambtenaar).
Selama perang Dunia II dimana pemerintah Hindia Belanda menyerah tanpa syarat
kepada tentara Jepang. Kantor Topographische Dients dipindahkan dari Jakarta ke
Bandung dengan nama kantor diubah menjadi Sokuryo Kyoku yang berarti kantor
pengukuran.
Pada
tanggal 28 September 1945 setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya,
Sokuryo Kyoku direbut dari tangan Jepang, dan diubah namanya menjadi Jawatan
Topografi Republik Indonesia dipimpin oleh Ir. Soetomo Wongsotjitro (kemudian
dikenal sebagai Guru Besar pada bagian geodesi, Fak. Teknik Universitas Indonesia)
yang bernaung dibawah Kementrian Pertahanan. Hal ini ditetapkan dengan
ketetapan pemerintah Republik Indonesia No. 46 tanggal 26 April 1946, kedudukan
Jawatan ini bermula ada di Malang kemudian pindah ke Solo pada tahun 1947, dan
akhirnya pindah ke Yogyakarta pada tahun 1949. Berdasrkan surat keputusan KASAD
No. Skep/691/VII/1986, tanggal 26 April 1946 ditetapkan sebagai hari lahir Corp
Topografi TNI-AD.
Pada
saat yang sama pemerintah Belanda menduduki sebagaian daerah Republik Indonesia
membentuk kembali Topografische Dients KNIL (Tentara kerajaan Hindia Belanda)
dengan balai Geodesi di Bandung (1947), balai Geografi, dan balai Fotogrametri
di Jakarta (1947). Balai Geodesi ini melanjutkan pekerjaan-pekerjaan yang telah
dilakukan oleh Brigade Triangulasi. Pada tanggal 17 Juni 1950, Jawatan
Topografi Republik Indonesia mengambil alih Topografische Dients KNIL beserta
semua lembaga-lembaga yang ada, sehingga di Indonesia hanya ada satu lembaga
pemetaan topografi dibawah Kementrian Pertahanan yang berkedudukan di Jakarta
(semula bernama Direktorat Topografi Angkatan Darat kemudian diganti menjadi
Jawatan Topografi Angkatan Darat). Sejak tahun 1950 praktis tidak ada pemetaan
baru. Pekerjaan dengan anggaran yang sangat terbatas hanya meliputi revisi
peta-peta lama serta kompilasi peta-peta skala kecil (1:250 000 dan 1:1 000
000). Pekerjaan triangulasi adalah melanjutkan triangulasi di Nusa Tenggara
Timur dan beberapa pengukuran Laplace. Pada tanggal 31 Maret 1951 dengan
peraturan pemerintah No. 23 Tahun 1951 tentang pejabat-pejabat hidrografi
pelayaran sipil, memutuskan bahwa di Indonesia terdapat dua pejabat Hidrografi
yaitu pejabat hidrografi sipil yang bernama :
1. Bagian
Hidrografi dan menjadi bagian dari Jawatan Pelayaran, Kementerian Perhubungan.
2. Bagian
Hidrografi angkatan laut, yang menjadi bagian staf angkatan laut.
Selanjutnya
melalui Kepres No. 164 Tahun 1960, bagian Hidrografi dari Jawatan Pelayaran
kementerian perhubungan digabungkan pada Jawatan Hidrografi Angkatan Laut. Pada
tanggal 23 November 1951, dengan peraturan pemerintah No. 71 Tahun 1951 (Lembar
Negara Nr. 116, 1951) membubarkan “Raad en Directorium loor het meet en
kaarteerwezen” ( dibentuk berdasarkan ”Gouvermentsbesluit” tanggal 17 Januari
1948), dan menetapkan pembentukan ”Dewan Pengukuran dan Penggambaran Peta
(Dewan Atlas)” yang bertugas mengkoordinasi segala pekerjaan pengukuran dan
penggambaran peta diseluruh wilayah Negara Republik Indonesia (pasal 2 dan 3).
Peraturan pemerintah ini juga membentuk ”Direktorium Pengukuran dan
Penggambaran Peta” yang bertugas menyelenggarakan koordinasi dan menjalankan
segala pekerjaan mengenai lapangan ilmu geodesi dan yang bersangkutan dengan
itu. Kepala staf angkatan perang dan para Sekretaris Jenderal Kementerian
Kehakiman, Perekonomian, Pertanian, Pekerjaan Umum dan Tenaga, atau
wakil-wakilnya, karena jabatannya menjadi anggota Dewan. Kepala Jawatan
Topografi dan Kepala Pendaftaran Tanah karena jabatannya menjadi anggota
direktorium yang hadir dalam rapat dewan (pasal 6 dan 8). Sebagai ketua dewan
adalah kepala staf Angkatan Perang.
Pada
tahun 1964 pemerintah Indonesia mengadakan pekerjaan survey dan pemetaan yang
berhubungan dengan wilayah kekuasaan negara, yaitu dalam penertiban tapal batas
internasional antara Irian Barat dengan Papua Nugini. Pada tahun 1966 dan 1967
dilaksanakan Expedisi Cendrawasih – II, yaitu pekerjaan mencari dan menandai
meridian seperti yang disebutkan dalam perjanjian tapal batas antara delegasi
Indonesia dengan Australia. Tim Indonesia terdiri atas unsur Dinas Geodesi dari
Topografi AD yang dipimpin oleh Kolonel CZI Ir Pranoto Asmoro, dan ITB dibawah
pimpinan Dr –Ing, Ir. J. Soenarjo. Batas wilayah Indonesia ini ditandai dengan
14 tugu perbatasan berupa piramida terpancung tinggi 160 cm memanjang dari
utara ke selatan sampai Fly River pada meridian 1410 00’ 00” BT dari Fly River
ke selatan pada posisi 1410 01’ 01” BT.
Berdasarkan
keputusan Presedium Kabinet Kerja Republik Indonesia No. Aa/D/37 1964 tanggal
28 April 1964, Pemerintah membubarkan panitia Atlas dengan membentuk Badan
Atlas Nasional (BATNAS). Pada tanggal 17 September 1965 dengan Keputusan
Presiden RI No 263 menetapkan Dewan Survey dan Pemetaan Nasional (DESURTANAL)
serta pembentukan Komando Survey dan Pemetaan Nasional (KOSURTANAL) dengan
tujuan agar diusahakan seminimum mungkin duplikasi usaha-usaha, pemborosan
keuangan dan personil, dan pemanfaatan sebaik mungkin data teknis dan informasi
yang dihimpun oleh berbagai instansi untuk kepentingan instansi yang
memerlukannya. Komando ini sedikit banyak telah memberikan pengertian kepada
pemerintah tentang
artinya pemetaan nasional untuk kepentingan pembangunan dan pertahanan.
Adanya
BATNAS, DESURTANAL serta KOSURTANAL mencerminkan tidak adanya efisiensi dan
penghematan dalam pengeluaran keuangan negara. Oleh karena itu dalam rangka
penertiban aparatur pemerintahan, pemerintah memandang perlu untuk meninjau
kembali kedudukan tugas dan fungsi badan-badan yang melakukan kegiatan dibidang
survey dan pemetaan. Berdasarkan Keputusan Presiden No 83 tahun 1969 tanggal 17
Oktober 1969, maka dicabut Kepres RI No 263/1965 tentang pembentukan DESURTANAL
dan KOSURTANAL, serta Keputusan Presidium Kabinet Kerja RI No Aa/D/37/1964
tentang pembentukan BATNAS, kemudian menetapkan pembentukan Badan Koordinasi
Survey dan Pemetaan Nasional yang disingkat BAKOSURTANAL sebagai lembaga Non
Departemen di bawah Presiden. Tugas BAKOSURTANAL adalah meneruskan usaha-usaha
koordinasi guna mencapai effisiensi dan pemanfaatan semaksimum mungkin potensi
nasional dalam bidang survey dan pemetaan disamping sebagai badan yang
merencanakan dan melaksanakan program survey dasar sumber alam serta pemetaan
nasional. Untuk pertama kalinya diangkat sebagai ketua BAKOSURTANAL adalah
Ir.Pranoto Asmoro (Mayor Jenderal Purnawirawan TNI-AD). Kemudian sejak adanya
UU Geopasial, maka sesuai amanat Pasal 22 ayat 4 Undang-Undang Nomor 4 tahun
2011 tentang Informasi Geospasial, pemerintah melalui Peraturan Presiden Nomor
94 Tahun 2011 yang ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal
27 Desember 2011, membentuk Badan Informasi Geospasial (BIG). Pada saat mulai
berlakunya perpres ini, bidang tugas yang terkait dengan informasi geospasial
tetap dilaksanakan oleh Bakosurtanal sampai dengan selesainya penataan
organisasi BIG sesuai dengan perpres tersebut. Bakosurtanal dalam jangka waktu
paling lama 1 tahun menyerahkan seluruh arsip dan dokumen yang berkaitan dengan
pelaksanaan tugasnya kepada BIG. Adapun pegawai negeri sipil (PNS) di
lingkungan Bakosurtanal menjadi PNS di BIG, yang pengaturannya akan dilakukan
oleh Kepala Bakosurtanal.
Sangat membantu, terima kasih
BalasHapus