Social Icons

.

Selasa, 30 April 2013

Geodesi dan Geomatika

  

   Geodesi berasal dari bahasa Yunani, Geo (γη) = bumi dan daisia / daiein (δαιω) = membagi, kata geodaisia atau geodeien berarti membagi bumi. Sebenarnya istilah “Geometri” sudah cukup untuk menyebutkan ilmu tentang pengukuran bumi, dimana geometri berasal dari bahasa Yunani, γεωμετρία = geo = bumi dan metria = pengukuran. Secara harafiah berarti pengukuran tentang bumi. Namun istilah geometri (lebih tepatnya ilmu spasial atau keruangan) yang merupakan dasar untuk mempelajari ilmu geodesi telah lazim disebutkan sebagai cabang ilmu matematika.

  Menurut Helmert dan Torge (1880), Geodesi adalah Ilmu tentang pengukuran dan pemetaan permukaan bumi yang juga mencakup permukaan dasar laut. Menurut IAG (International Association Of Geodesy 1979), Geodesi adalah Disiplin ilmu yang mempelajari tentang pengukuran dan perepresentasian dari Bumi dan benda-benda langit lainnya, termasuk medan gaya beratnya masing-masing, dalam ruang tiga dimensi yang berubah dengan waktu.

  Pada laporan Dewan Riset Nasional Amerika Serikat, definisi Geodesi dapat dibaca sebagai berikut: “a branch of applied mathematics that determines by observations and measurements the exact position of points and the figures and areas of large portions of the earth's surface,the shape and size of the earth, and the variations of terrestrial gravity”.

  Dalam bahasa yang berbeda, geodesi adalah cabang dari ilmu matematika terapan, yang dilakukan dengan cara melakukan pengukuran dan pengamatan untuk menentukan:
  • Posisi yang pasti dari titik-titik di muka bumi
  • Ukuran dan luas dari sebagian besar muka bumi
  • Bentuk dan ukuran bumi serta variasi gaya berat bumi

  Definisi ini mempunyai dua aspek, yakni:
  • Aspek ilmiah (aspek penentuan bentuk), berkaitan dengan aspek geometri dan fisik bumi serta variasi medan gaya berat bumi.
  • Aspek terapan (aspek penentuan posisi), berhubungan dengan pengukuran dan pengamatan titik-titik teliti atau luas dari suatu bagian besar bumi. Aspek terapan ini yang kemudian dikenal dengan sebutan survei dan pemetaan atau teknik geodesi.

  Adapun tujuan Geodesi pada garis besarnya ada 2 (dua) yaitu :
a. Ilmu Murni Geodesi (Geodesy Science)
b. Segi Praktis (Mapping ~ Pemetaan)
Geodesy Science mempelajari bentuk dan besarnya bumi, ukuran bumi, pergerakan kutub dan sejenisnya. Sedangkan Mapping lebih bergerak pada bidang praktis atau keteknikan (engineering), misalnya penentuan posisi kapal di laut, pembangunan pelabuhan, staking out jalan (jalan raya, jalan kereta api, saluran irigasi dan sebagainya), uitzet bangunan, pengkaplingan dan sebagainya.Seperti halnya ilmu-ilmu yang lain, maka dalam perjalanannya Geodesi berinteraksi dengan ilmu lain dan berkembang, artinya tidak hanya pada pengukuran bentuk dan besar bumi, pemetaan dan sejenisnya, tetapi berkembang ke keruangan (spasial). Perkembangan teknologi komputer dijital juga telah memperluas ruang lingkup keilmuan dan keahlian teknik geodesi. Perkembangan tersebut adalah menuju ke Geomatika.

  Geomatika adalah sebuah istilah ilmiah modern yang berarti pendekatan yang terpadu dalam mengukur, menganalisis, dan mengelola deskripsi dan lokasi data-data kebumian, yang sering disebut sebagai data spasial. Data-data ini berasal dari berbagai sumber, antara lain : satelit-satelit yang mengorbit bumi, sensor-sensor laut dan udara, dan peralatan ukur di daratan. Data tersebut diolah dengan teknologi informasi mutakhir menggunakan perangkat keras dan perangkat lunak komputer.

  Definisi geomatika yang bersumber dari University of Calgary menjelaskan: “Geomatics Engineering is a modern discipline, which integrates acquisition, modeling, analysis, and management of spatially referenced data, i.e. data identified according to their locations. Based on the scientific framework of geodesy, it uses terrestrial, marine, airborne, and satellite-based sensors to acquire spatial and other data. It includes the process of transforming spatially referenced data from different sources into common information systems with well-defined accuracy characteristics”.

  Geomatika mempunyai aplikasi dalam semua disiplin yang berhubungan dengan data spasial, misalnya studi lingkungan, perencanaan wilayah dan kota, kerekayasaan, navigasi, geologi & geofisika, dan pengelolaan pertanahan. Oleh karena itu geomatika sangat fundamental terhadap semua disiplin ilmu kebumian yang menggunakan data spasial, seperti ilmu ukur tanah, penginderaan jauh (foto udara atau dengan gelombang elektromagnetik), kartografi, sistem informasi geografik (SIG), dan global positioning system (GPS).

Sejarah Perkembangan Geodesi:
  Semenjak manusia mula memikirkan tentang makhluk, mereka telah berminat untuk mempelajari tentang bumi. Beberapa fenomena alam yang terjadi di sekeliling mereka menyebabkan mereka seringkali merasa takut. Hasil daripada ini telah menggalakkan manusia lebih memahami tentang  peristiwa tersebut. Sebagian fenomena yang terjadi adalah sentiasa berkait rapat dengan bentuk, graviti bumi, perubahan masa dan untuk mengetahuinya memerlukan pengetahuan dalam bidang geodesi. Secara signifikan, kegiatan pemetaan bumi sebagai bidang ilmu Geodesi telah dimulai sejak banjir sungai nil (2000 SM) oleh kerajaan Mesir Kuno. Perkembangan Geodesi yang lebih signifikan lagi pada saat manusia mempelajari bentuk bumi & ukuran bumi lebih dalam oleh tokoh Yunani, Erastotenes yang dikenal sebagai bapak geodesi. Hingga kini teknik geodesi dijadikan sebagai disiplin ilmu akademis hampir disetiap negara. 



Ilmu Yang Mendukung Geodesi
Ilmu –ilmu yang mendukung Geodesi, menurut Vanicek (1982) adalah :
1. Ilmu yang utama meliputi :
• Matematika
• Fisika
• Komputer
2. Ilmu lainnya adalah :
• Hidrografi
• Geografi
• Ekologi
• Proyek Keteknikan
• Manajemen kota
• Batas wilayah
• Manajemen Lingkungan
• Astronomi
• Pengetahuan Amosfir
• Geologi
• Geofisik
• Oseanografi
• Pengetahuan Spasial


Gambar. Bidang Geomatika

Sejarah Geodesi di Indonesia:
  Pada abad 18 pengetahuan tentang pendalaman pulau jawa sangat kurang, terlebih daerah diluar Jawa. Pada saat pemerintahan Gouverneur General Daendels, diletakan dasar untuk pengukuran di pulau jawa. Pada tahun 1809 diangkat juru-juru ukur yang diambil sumpah untuk mengisi personil dalam organisasi “Biro Zeni” dalam gerakan-gerakan militer. Semua pejabat militer dan sipil mendapat instruksi untuk mengadakan pengukuran dan pemetaan, terutama kepada para perwira Zeni diberi tugas pengukuran dan waterpassing dengan menggunakan peta-peta laut sebagai dasar pembuatan peta.

  Setelah selesai peperangan di Jawa (Perang diponegoro tahun 1825-1830) timbul kebutuhan yang meningkat akan kebutuhan data geografi dan peta topografi yang lebih lengkap dari wilayah Hindia Belanda terutama ditujukan untuk pembuatan peta pertahanan Pulau Jawa. Pada awal abad ke-19 di Eropa terdapat anggapan bahwa pekerjaan pengukuran triangulasi harus dilakukan terlebih dahulu sebelum dilakukan pekerjaan pemetaan. Anggapan ini baru dianut di Indonesia pada akhir abad ke-19, walaupun antara tahun 1839 hingga tahun 1848 Junghuhn telah membuat triangulasi pertama di Indonesia yang dijadikan dasar untuk pengukuran dan pemetaan di Pulau Jawa. Dari hasil pengukuran yang dilakukan dapat dihasilkan tiga peta dengan skala peta yang bervariasi. Peta-peta buatan Junghuhn tersebut tidak pernah dicetak, sebab disusul oleh pembuatan peta dengan skala 1 : 70 000 oleh Vander Welde tahun 1845, dan peta buatan Leclerq pada tahun 1850 dengan skala peta 1 : 100 000.

  Pemerintah Hindia Belanda semula merencanakan pengukuran dan pemetaan detail sekitar daerah Batavia (Jakarta) dan Buiterzorg (Bogor), namun segera diputuskan pemetaan topografi pertama dimulai di daerah residensi Batavia (tahun 1849-1853) oleh Topografisch Bureau sebagai bagian dari Corps Genie. Hasil pekerjaan pengukuran dan pemetaan dengan skala peta 1 : 10 000 dan 1: 50 000 (hasil perkecilan skala peta) telah memperjelas manfaat serta kegunaan peta. Setelah selesai pemetaan di sekitar Batavia, proses pemetaan di Pulau Jawa diperluas lagi hingga ke Keresidenan Cirebon.

  Berdasarkan laporan yang disampaikan oleh Prof. Ir. J.H.G Schepers pada sidang umum International Union of Geodesy and Geophysics (IUGG) pada tahun 1931, dapat dibaca tentang sejarah pemetaan topografi di Indonesia pada masa lalu. Pada tahun 1850 dibentuklah Dinas Geografi (Geografische Dients) sebagai bagian dari angkatan laut dengan tugas untuk menetapkan posisi geografi dari berbagai stasiun di Indonesia dengan pengamatan bintang. Pada tahun 1864 dibentuk Topografisch Bureau en der Militaire Verkeuningen di bawah kesatuan Zeni dengan tugas pengukuran topografi di Pulau Jawa. Pada tahun 1874 Bureau ini dialihkan menjadi Topografische Dients (Dinas Topografi) di bawah staf umum angkatan darat, pada tahun 1907 dipisahkan lagi dari staf umum untuk menjadi bagian yang berdiri sendiri yang dikenal dengan nama “IXde Afdeeling van let Department van Oorlog” (Afdeeling ke-9 dari departemen peperangan) atau lazim disebut dinas topografi militer.

  Pada tahun 1857, Dr. Oudemans (Guru besar Astronomi pada universitas Utrecth) datang ke Indonesia dan meyakinkan perlunya triangulasi yang teratur untuk pemetaan topografi yang sekaligus dapat dimanfaatkan untuk keperluan ilmiah didalam menentukan dimensi bumi. Pada tahun 1862 triangulasi pulau jawa dimulai dibawah pimpinan Dr. Oudemans sendiri dan selesai pada tahun 1880, sesudah dinas geografi dibubarkan. Pekerjaan triangulasi ini dikerjakan setelah pemerintah Hindia Belanda memutuskan untuk memulai pemetaan sistematik di Indonesia yang dimulai dari pulau Jawa dan Madura, serta dilakukan oleh pemerintah sendiri (Governments Besluit No 10 tanggal 25 Desember 1853).

  Pada tahun 1883 dibentuk brigade triangulasi sebagai bagian dari dinas topografi militer untuk meneruskan pekerjaan triangulasi di pulau Sumatera dan pulau-pulau lainnya. Brigade ini dipimpin oleh Dr. J.J.A Mueller. Sejak tahun 1913 Brigade dipimpin oleh Prof. Ir. J.H.G. Schepers dan diserahi tugas survey geodesi untuk seluruh Kepulauan Indonesia (triangulasi, pengamatan astronomi, sipat datar teliti di Jawa ). Menjelang pecahnya perang Dunia II, pimpinan Brigade Triangulasi adalah Prof. Ir. P.H. Poldevaart, sehingga praktis pimpinan dan staf Brigade ini (merupakan bagian terpenting pada dinas topografi militer) adalah sarjana-sarjana yang berstatus pegawai sipil (burgelijk ambtenaar). Selama perang Dunia II dimana pemerintah Hindia Belanda menyerah tanpa syarat kepada tentara Jepang. Kantor Topographische Dients dipindahkan dari Jakarta ke Bandung dengan nama kantor diubah menjadi Sokuryo Kyoku yang berarti kantor pengukuran.

  Pada tanggal 28 September 1945 setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya, Sokuryo Kyoku direbut dari tangan Jepang, dan diubah namanya menjadi Jawatan Topografi Republik Indonesia dipimpin oleh Ir. Soetomo Wongsotjitro (kemudian dikenal sebagai Guru Besar pada bagian geodesi, Fak. Teknik Universitas Indonesia) yang bernaung dibawah Kementrian Pertahanan. Hal ini ditetapkan dengan ketetapan pemerintah Republik Indonesia No. 46 tanggal 26 April 1946, kedudukan Jawatan ini bermula ada di Malang kemudian pindah ke Solo pada tahun 1947, dan akhirnya pindah ke Yogyakarta pada tahun 1949. Berdasrkan surat keputusan KASAD No. Skep/691/VII/1986, tanggal 26 April 1946 ditetapkan sebagai hari lahir Corp Topografi TNI-AD.

  Pada saat yang sama pemerintah Belanda menduduki sebagaian daerah Republik Indonesia membentuk kembali Topografische Dients KNIL (Tentara kerajaan Hindia Belanda) dengan balai Geodesi di Bandung (1947), balai Geografi, dan balai Fotogrametri di Jakarta (1947). Balai Geodesi ini melanjutkan pekerjaan-pekerjaan yang telah dilakukan oleh Brigade Triangulasi. Pada tanggal 17 Juni 1950, Jawatan Topografi Republik Indonesia mengambil alih Topografische Dients KNIL beserta semua lembaga-lembaga yang ada, sehingga di Indonesia hanya ada satu lembaga pemetaan topografi dibawah Kementrian Pertahanan yang berkedudukan di Jakarta (semula bernama Direktorat Topografi Angkatan Darat kemudian diganti menjadi Jawatan Topografi Angkatan Darat). Sejak tahun 1950 praktis tidak ada pemetaan baru. Pekerjaan dengan anggaran yang sangat terbatas hanya meliputi revisi peta-peta lama serta kompilasi peta-peta skala kecil (1:250 000 dan 1:1 000 000). Pekerjaan triangulasi adalah melanjutkan triangulasi di Nusa Tenggara Timur dan beberapa pengukuran Laplace. Pada tanggal 31 Maret 1951 dengan peraturan pemerintah No. 23 Tahun 1951 tentang pejabat-pejabat hidrografi pelayaran sipil, memutuskan bahwa di Indonesia terdapat dua pejabat Hidrografi yaitu pejabat hidrografi sipil yang bernama :
1. Bagian Hidrografi dan menjadi bagian dari Jawatan Pelayaran, Kementerian Perhubungan.
2. Bagian Hidrografi angkatan laut, yang menjadi bagian staf angkatan laut.

  Selanjutnya melalui Kepres No. 164 Tahun 1960, bagian Hidrografi dari Jawatan Pelayaran kementerian perhubungan digabungkan pada Jawatan Hidrografi Angkatan Laut. Pada tanggal 23 November 1951, dengan peraturan pemerintah No. 71 Tahun 1951 (Lembar Negara Nr. 116, 1951) membubarkan “Raad en Directorium loor het meet en kaarteerwezen” ( dibentuk berdasarkan ”Gouvermentsbesluit” tanggal 17 Januari 1948), dan menetapkan pembentukan ”Dewan Pengukuran dan Penggambaran Peta (Dewan Atlas)” yang bertugas mengkoordinasi segala pekerjaan pengukuran dan penggambaran peta diseluruh wilayah Negara Republik Indonesia (pasal 2 dan 3). Peraturan pemerintah ini juga membentuk ”Direktorium Pengukuran dan Penggambaran Peta” yang bertugas menyelenggarakan koordinasi dan menjalankan segala pekerjaan mengenai lapangan ilmu geodesi dan yang bersangkutan dengan itu. Kepala staf angkatan perang dan para Sekretaris Jenderal Kementerian Kehakiman, Perekonomian, Pertanian, Pekerjaan Umum dan Tenaga, atau wakil-wakilnya, karena jabatannya menjadi anggota Dewan. Kepala Jawatan Topografi dan Kepala Pendaftaran Tanah karena jabatannya menjadi anggota direktorium yang hadir dalam rapat dewan (pasal 6 dan 8). Sebagai ketua dewan adalah kepala staf Angkatan Perang.

  Pada tahun 1964 pemerintah Indonesia mengadakan pekerjaan survey dan pemetaan yang berhubungan dengan wilayah kekuasaan negara, yaitu dalam penertiban tapal batas internasional antara Irian Barat dengan Papua Nugini. Pada tahun 1966 dan 1967 dilaksanakan Expedisi Cendrawasih – II, yaitu pekerjaan mencari dan menandai meridian seperti yang disebutkan dalam perjanjian tapal batas antara delegasi Indonesia dengan Australia. Tim Indonesia terdiri atas unsur Dinas Geodesi dari Topografi AD yang dipimpin oleh Kolonel CZI Ir Pranoto Asmoro, dan ITB dibawah pimpinan Dr –Ing, Ir. J. Soenarjo. Batas wilayah Indonesia ini ditandai dengan 14 tugu perbatasan berupa piramida terpancung tinggi 160 cm memanjang dari utara ke selatan sampai Fly River pada meridian 1410 00’ 00” BT dari Fly River ke selatan pada posisi 1410 01’ 01” BT.

  Berdasarkan keputusan Presedium Kabinet Kerja Republik Indonesia No. Aa/D/37 1964 tanggal 28 April 1964, Pemerintah membubarkan panitia Atlas dengan membentuk Badan Atlas Nasional (BATNAS). Pada tanggal 17 September 1965 dengan Keputusan Presiden RI No 263 menetapkan Dewan Survey dan Pemetaan Nasional (DESURTANAL) serta pembentukan Komando Survey dan Pemetaan Nasional (KOSURTANAL) dengan tujuan agar diusahakan seminimum mungkin duplikasi usaha-usaha, pemborosan keuangan dan personil, dan pemanfaatan sebaik mungkin data teknis dan informasi yang dihimpun oleh berbagai instansi untuk kepentingan instansi yang memerlukannya. Komando ini sedikit banyak telah memberikan pengertian kepada pemerintah tentang artinya pemetaan nasional untuk kepentingan pembangunan dan pertahanan.

  Adanya BATNAS, DESURTANAL serta KOSURTANAL mencerminkan tidak adanya efisiensi dan penghematan dalam pengeluaran keuangan negara. Oleh karena itu dalam rangka penertiban aparatur pemerintahan, pemerintah memandang perlu untuk meninjau kembali kedudukan tugas dan fungsi badan-badan yang melakukan kegiatan dibidang survey dan pemetaan. Berdasarkan Keputusan Presiden No 83 tahun 1969 tanggal 17 Oktober 1969, maka dicabut Kepres RI No 263/1965 tentang pembentukan DESURTANAL dan KOSURTANAL, serta Keputusan Presidium Kabinet Kerja RI No Aa/D/37/1964 tentang pembentukan BATNAS, kemudian menetapkan pembentukan Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional yang disingkat BAKOSURTANAL sebagai lembaga Non Departemen di bawah Presiden. Tugas BAKOSURTANAL adalah meneruskan usaha-usaha koordinasi guna mencapai effisiensi dan pemanfaatan semaksimum mungkin potensi nasional dalam bidang survey dan pemetaan disamping sebagai badan yang merencanakan dan melaksanakan program survey dasar sumber alam serta pemetaan nasional. Untuk pertama kalinya diangkat sebagai ketua BAKOSURTANAL adalah Ir.Pranoto Asmoro (Mayor Jenderal Purnawirawan TNI-AD). Kemudian sejak adanya UU Geopasial, maka sesuai amanat Pasal 22 ayat 4 Undang-Undang Nomor 4 tahun 2011 tentang Informasi Geospasial, pemerintah melalui Peraturan Presiden Nomor 94 Tahun 2011 yang ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 27 Desember 2011, membentuk Badan Informasi Geospasial (BIG). Pada saat mulai berlakunya perpres ini, bidang tugas yang terkait dengan informasi geospasial tetap dilaksanakan oleh Bakosurtanal sampai dengan selesainya penataan organisasi BIG sesuai dengan perpres tersebut. Bakosurtanal dalam jangka waktu paling lama 1 tahun menyerahkan seluruh arsip dan dokumen yang berkaitan dengan pelaksanaan tugasnya kepada BIG. Adapun pegawai negeri sipil (PNS) di lingkungan Bakosurtanal menjadi PNS di BIG, yang pengaturannya akan dilakukan oleh Kepala Bakosurtanal.

1 komentar:

 

Translate

Music